search

Berita

perempuan mahardikaHari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan

Betapa Pentingnya Perayaan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Indonesia, Sektor Pekerja Paling Rawan

Penulis: Redaksi Presisi
Minggu, 27 November 2022 | 1.109 views
Betapa Pentingnya Perayaan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Indonesia, Sektor Pekerja Paling Rawan
Sejumlah isu yang disuarakan pada 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Minggu, 27 November 2022 (sumber: Perempuan Mahardika)

Presisi.co – Kekerasan seksual kepada perempuan kerap terjadi dalam berbagai bentuk. Mulai dari fisik, verbal, hingga eksploitasi tenaga kerja. Dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, momen Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan hingga kini terus digaungkan.

Agenda tersebut diperingati selama enam hari setiap tahun, mulai 25 November hingga 10 Desember. Diperingati secara internasional, tanggal 25 dipilih sebagai bentuk penghormatan terhadap tiga aktivis politik. Yakni, Patricia Mercedez Mirabal, Minerva Mirabal, dan Maria Teresa Mirabal.

Karena berkerabat kandung, ketiganya akrab disapa sebagai Mirabal bersaudara. Mereka terbunuh pada 25 November, 1960 silam sebab berani menentang kediktatoran Rafael Trujillo di Republik Dominika. Dikutip dari sejumlah sumber, Mirabal Bersaudara disebut dibunuh saat mengunjungi suami mereka di penjara.

Kematian mereka pun tidak sia-sia. Perjuangan Mirabal bersaudara bagai api yang membara ditengah kegelapan. Pada 17 Desember 1999, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan tanggal kematian Mirabal Bersaudara sebagai Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan se-dunia.

Nasib Buruh Perempuan Indonesia

Di Indonesia, momen Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan se-dunia menjadi pengingat bahwa masih ada sejumlah persoalan yang mengancam kaum perempuan. Salah satunya adalah sektor tenaga kerja. Hal ini dijelaskan lebih dalam oleh Organisasi keperempuanan, Perempuan Mahardhika (PM).

Menurut mereka, buruh perempuan adalah salah satu yang kini paling terdampak. Sejumlah regulasi dinilai tidak memihak kaum hawa di dunia kerja. Salah satunya adalah UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau Omnibuslaw.

Kehadiran beleid tersebut memungkinkan kaum perempuan terkena ‘pemutihan dan pe-mandekan kerja’. Atau, dalam bahasa sederhananya, kehilangan status sebagai karyawan tetap.

Pada 7 Oktober 2022, sejumlah Asosiasi Pengusaha, sebut PM, dikabarkan berkirim surat meminta agar pemerintah mengizinkan agar jam kerja dapat ‘lebih fleksibel’ dengan total 30 jam per-minggu. Mayoritas permintaan disebut berasal dari perusahaan padat karya berorientasi ekspor.

Situasi tersebut dianggap menyusahkan kaum hawa. Fleksibilitas jam kerja diduga akan memperbesar eksploitasi tenaga kerja.Meskipun demikian, masa pandemi membuat tidak banyak pilihan. Buruh harus tetap bekerja demi mengasapi dapur keluarga.

“Pada jam kerja normal, (ditemukan) buruh perempuan pabrik garmen sering memulai kerja lebih awal dan menggunakan waktu istirahat. (mereka) Bahkan takut untuk ke toilet agar target kerja dapat terpenuhi,” ucap Koordinator PM, Mutiara Ika Pratiwi, dalam keterangan persnya.

Alhasil pada Ahad, 27 November, PM melakukan Aksi Nasional memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Aksi tersebut dilakukan di empat provinsi berbeda. Pertama, di Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta. Kedua, Patung Bekantan-Siring, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Kemudian, Monumen Mandala-Sudirman di Makassar, Sulawesi Selatan. Dan terakhir, di atas kapal sambil mengarungi Sungai Mahakam di Samarinda, Kalimantan Timur. PM mengajak seluruh insan perempuan Indonesia, terutama kaum pekerja, berani memperjuangkan nasib mereka sendiri.

“Dalam situasi krisis dimana jurang kemiskinan semakin melebar, buruh perempuan –sebagai kelompok yang sedari dulu sudah dimiskinkan—adalah kelompok pertama yang akan kehilangan pekerjaan dan terakhir mendapatkannya kembali,” pungkas Mutiara Ika Pratiwi.  (*)

 

Editor: Bella