23 Tahun Reformasi dan Wajah Muram Demokrasi Indonesia
Penulis: Opini
Jumat, 21 Mei 2021 | 1.324 views
Reformasi adalah suatu gerakan yang menghendaki adanya perubahan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ke arah yang lebih baik secara konstitusional.
Masa reformasi di Indonesia terjadi setelah Masa Orde Baru berakhir, dimulai pada tanggal 21 Mei 1998. Salah satu penyebab terjadinya reformasi di Indonesia karena banyaknya kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan rakyat di era Presiden Soeharto. Agenda reformasi yang sudah berjalan selama 23 tahun sejak peristiwa Mei 1998, perlu terus dievaluasi. Untuk bisa mengenyam buah kesejahteraan dari demokrasi, butuh keterlibatan nyata dari masyarakat selain peran sentral para penyelenggara negara.
Penuh ekspresi melihat 23 tahun reformasi Indonesia, beragam permasalahan yang terjadi mulai dari korupsi yang tetap merajalela, oligarki politik semakin kuat, dengan keadaan seperti itulah kekecewaan-kekecewaan terhadap era reformasi lahir dan orang-orang menoleh ke zaman lalu. Indonesia memang punya riwayat panjang soal kekecewaan terhadap pemerintahan, yang terus-menerus berulang sepanjang zaman
Kalau kita lihat 23 tahun pasca reformasi negara ini belum bisa dikatakan bangkit, banyak kebijakan yang diambil pemerintah menimbulkan kekecewaan pada rakyat. Beberapa undang-undang yang tidak pro rakyat disahkan dan baru baru ini praktik korupsi juga makin marak dilakukan oleh petinggi Negara.
Bila dibandingkan dengan dua puluh tiga tahun pertama kekuasaan Orde Baru (1966-1986), dua puluh tiga tahun “Orde Reformasi" bisa dikatakan, masih belum menemukan formula ideal tentang bagaimana sebuah sistem kekuasaan dibangun.
Dalam Democracy Index 2020 yang dirilis awal 2021 kemarin, EIU menilai Indonesia mengalami penurunan skor di 2020 jika dibandingkan tahun sebelumnya. Di 2019 Indonesia mendapat skor 6,48, sedangkan di 2020 turun menjadi 6,30. Dengan skor itu, Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dan masih berada dalam kategori negara demokrasi cacat (flawed democracy). EIU memberikan penilaian terhadap 167 negara dan memberikan klasifikasi dalam empat kategori, yaitu demokrasi penuh, demokrasi cacat, rezim hibrida, dan rezim otoriter. Secara umum, EIU menilai indeks demokrasi dunia di 2020 menurun dibandingkan 2019. Rata-rata skor indeks demokrasi dunia 2020 sebesar 5,37 atau menurun dari 2019 di angka 5,44. Hasil ini tercatat sebagai rata-rata skor terendah sejak EIU merilis laporan tahunannya pada 2006 silam. Temuan EIU, pandemi Covid-19 yang terjadi di 2020 telah memberikan dampak berarti bagi demokrasi dan kebebasan di dunia.
Untuk meningkatkan pola demokrasi yang lebih baik Indonesia perlu meningkatkan infrastuktur politik yang kokoh untuk ke depannya. Profesor Sejarah UIN Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra, dalam tulisan ”Membangun Infrastruktur Politik” mengulas pentingnya membangun infrastruktur politik bagi penguatan demokrasi. Menurutnya, infrastruktur politik adalah individu, kelompok, pranata, dan lembaga yang langsung atau tidak, mendukung kinerja suprastruktur, seperti ideologi, lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan aparat pemerintahan.
Akan tetapi, pandangan tersebut perlu dilengkapi dengan peran masyarakat madani (civil society), seperti yang dituliskan oleh Akbar Tandjung. Peran masyarakat akar rumput (madani) dalam kehidupan berpolitik juga diperlukan dalam tumbuhnya iklim demokrasi.
Dua puluh tahun berlalu. Banyak yang sudah berubah - banyak yang positif, tapi banyak pekerjaan rumah yang masih tertinggal. Beberapa agenda reformasi tidak berjalan seperti yang dicita citakan dahulu di tahun 1998. Sejarah memang tidak selalu berjalan seperti film yang terpaku pada naskah. Tapi gerakan 1998 juga menunjukkan bahwa sejarah ada di tangan kita yang ingin berubah
KAMMI Samarinda dengan ini menyatakan sikap bahwasannya reformasi di negeri ini masih di korupsi, mari bersama kita bangkit menegakan cita-cita reformasi untuk Indonesia yang berdaya.
Penulis: Aulia Furqon (Kepala departemen Kebijakan Publik KAMMI Samarinda)
*** Opini ini adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi Presisi.co