Rencana Zonasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kalimantan Timur Mengancam Keselamatan Nelayan Tradisional dan Masyarakat Pesisir
Penulis: Siaran Pers
Jumat, 18 September 2020 | 1.445 views
Presisi.co - Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Kalimantan Timur memasuki tahap akhir. Pada tanggal 17 September 2020, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Kalimantan Timur menggundang Stakeholder terkait untuk hearing memberikan tanggapan terhadap dokumen Raperda RZWP3K di Lantai I Gedung E Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Kalimantan Timur.
Sebagai provinsi yang mempunyai wilayah laut, maka wajib bagi Kalimantan Timur menyusun Perda RZWP3K. Dengan adanya perda ini maka akan mengatur perlindungan terhadap ruang hidup masyarakat di pesisir dan pulau-pulau kecil, khususnya nelayan tradisional, perlindungan dan pelestarian kawasan konservasi, termasuk juga aktifitas industri maupun investasi ekstraktif yang berada di Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Sebaliknya, Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Ruang (AMUK Bahari) Kalimantan Timur menilai baik Dokumen Final maupun Raperda RZWP3K Provinsi Kalimantan Timur ini disusun melayani kepentingan investasi pertambangan migas dan batubara, reklamasi untuk properti dan terminal khusus eksploitasi industri kayu serta perkebunan skala luas.
Secara umum baik dokumen final maupun Raperda RZWP3K Provinsi Kalimantan Timur ada dua hal yang Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Ruang (AMUK Bahari) Kalimantan Timur kritisi, yaitu terkait prosedur dan subtansi. Dari sisi prosedur Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Ruang (AMUK Bahari) Kalimantan Timur mencatat adanya sejumlah cacat prosedur, yaitu : pertama, penyusunan RZWP3K Kaltim tanpa didahului dengan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), berjalan bersama antara KLHS dan penyusunan RZWP3K pun tidak. Padahal KLHS merupakan dasar bagi penyusunan RZWP3K, namun KLHS sampai saat ini belum selesai penyusunannya sedangkan pembahasan Raperda sudah masuk ditahap akhir. Selain itu, Raperda yang ada tidak sepenuhnya mengacu pada Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP3K) yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 13 Tahun 2016. Sementara dalam RSWP3K Kaltim ada beberapa muatan tidak diatur dalam Raperda RZWP3K Kaltim, misalnya soal permasalahan degradasi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil; kedua, dalam penyusunan dokumen RZWP3K Kaltim pelibatan masyarakat masih sebatas ‘partisipasi simbolik’ dan belum mampu merepresentasikan kepentingan publik secara umum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan; ketiga, belum ada integrasi RTRW (Provinsi dan Kabupaten/Kota) dan RZWP3K dalam perencanaan dan pemanfaatan wilayah pesisir kearah darat dan pulau-pulau kecil. Hal ini mengakibatkan tidak adanya jaminan perlindungan bagi pulau-pulau kecil karena perencanaanya tidak dilakukan dengan mempertimbangkan perairan dan pulau-pulau besar yang ada di sekitarnya; keempat, definisi garis dimulainya wilayah RZWP3K masih tidak memiliki kesamaan. Jika dalam undang-undang menyatakan bahwa kecamatan terpinggir dari pesisir, sementara dari pokja KLHS menyatakan bahwa batas sudut terendah dari pantai 0-12 mil laut; kelima, tidak ada bukti pertemuan Tim Penyusun RZWP3K bersama dengan Tim Tata Ruang Kabupaten/Kota; keenam, hingga hari ini tidak ada laporan dari tim penyusun baik pokja KLHS maupun RZWP3K yang telah melakukan survey laut, soal sudah melakukan verifikasi itu tadi dibantah oleh masyarakat nelayan dan pokja pesisir dan nelayan Balikpapan.
Sementara dari aspek subtansi, Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Ruang (AMUK Bahari) Kalimantan Timur menemukan sejumlah fakta dan informasi penting yang perlu disampaikan kepada pansus sehubungan dengan tahapan penyusunan Raperda RZWP3K Kaltim, yaitu : pertama, penyusunan rancangan RZWP-3-K Provinsi Kalimantan Timur menjadi pintu masuk bagi industri ekstraktif yang akan menghancurkan wilayah pesisir khususnya ekosistem karst.
Ekosistem karst akan mendapatkan gangguan besar dengan telah terkaplingnya 65.460 ha izin tambang di atas kawasan karst di pesisir kaltim, 1,3 juta telah terkapling penambangan minyak dan gas dan 719 ribu ha bahkan menyerobot wilayah tangkapan nelayan tradisional; kedua, meskipun Gubernur Kaltim telah menetapkan luasan ekosistem karst Sangkulirang–Mangkalihat sebesar 1.867.676 ha, namun tidak serta merta memberi kepastian bagi perlindungan kawasan karst Sangkulirang- Mangkalihat. Hanya 307.337 ha atau 16,45% saja yang telah ditetapkan sebagai kawasan lindung. Sisanya, terdapat 44 izin rencana kegiatan industri yang berpotensi merusak ekosistem karst kedepannya; ketiga, Penyusunan Rancangan RZWP-3-K Provinsi Kalimantan Timur menghilangkan kawasan ekosistem mangrove sebagai kawasan konservasi.
Wilayah-wilayah konservasi mangrove telah dikonversi menjadi kawasan industri dan alih fungsi lahan mangrove untuk permukiman/perumahan. Perda No. 1 Tahun 2016 hanya mengatur 2 dari 7 kabupaten saja yang memiliki mangrove dalam jumlah yang berlimpah; keempat, ruang hidup nelayan dan masyarakat pesisir ikut terancam. Akses masyarakat pesisir terganggu oleh aktivitas industri di wilayah pesisir, aturan pembatasan wilayah penangkapan ikan, reklamasi pantai hingga penurunan kualitas air yang ikut memengaruhi kualitas budidaya perikanan warga; kelima, penyusunan RZWP-3-K belum mempertimbangkan mitigasi bencana secara komprehensif sehingga melanggar pasal 56 UU No. 27 Tahun 2007 dan pasal 9 ayat (2) PP No. 64 Tahun 2010.
Tidak ada peta rawan bencana dan peta risiko bencana yang secara eksplisit diwajibkan untuk disusun sebagai bahan pertimbangan penyusunan RZWP-3-K Kalimantan Timur; keenam, merampas Ruang Tangkap Nelayan Tradisional mulai dari adanya tumpang tindih wilayah tangkap nelayan dengan migas seluas 719.524 Ha, nelayan tradisional ruang tangkapnya dipaksakan 4-12 mil laut (kab/kota) sedangkan kemampuan untuk melaut paling jauh 2-3 mil laut, serta dari 7 kabupaten/kota hanya ada 4 TPI di Kaltim (Samarinda, Bontang, Balikpapan, dan Berau) sedangkan Kukar yang memiliki Garis Pantai terpanjang dan Kutim yang memiliki garis pantai terbesar ketiga di Kaltim tidak memiliki TPI; ketujuh, menggusur Pemukiman Nelayan dan Masyarakat Pesisir.
Di dalam dokumen RZWP3K Pemukiman Nelayan dan Masyarakat Pesisir hanya ditetapkan disatu daerah yakni Kota Bontang, sementara ada 7 kota kabupaten yang memiliki wilayah pesisir yang butuh jaminan sebagai bagian kawasan pemukiman Nelayan dan Masyarakat pesisir di Kaltim; kedelapan, menggusur Ruang Publik. Sepanjang 8.500 Meter Pantai Balikpapan di alih fungsikan menjadi Coastal Area, masyarakat tidak lagi dapat mengakses dengan gratis kawasan tersebut karena telah mendapatkan keistimewaan untuk jadi wilayah privat; kesembilan, melanggar wilayah Cagar Alam. Didalam dokumen RZWP3K terdapat 2 Izin Usaha Pertambangan Pasir masuk dalam Cagar Alam Teluk Adang / Teluk Apar dan Koalisi Masyarakat Sipil mendesak agar Tambang tersebut dihapus dalam RZWP3K Kaltim; kesepuluh, RZWP3K Kaltim yang sedang disusun ini tidak bisa mem-Veto izin-izin Pelabuhan khususnya Terminal Khusus, Pelabuhan Khusus , Dermaga khusus Batubara yang telah di terbitkan oleh Kementrian Perhubungan.
Ada sebanyak 185 Tersus, Pelsus dan Dermaga yang menjadi biang kerok rusaknya dan tercemarnya lingkungan pesisir di Kaltim. Akibat aktifitas pelayaran dan bongkar muat dari pelabuhan ini, juga mengakibatkan Nelayan Tradisional tergusur dari ruang tangkapannya; kesebelas, pada naskah disebutkan wilayah pulau Balabalagan masuk dalam wilayah yang di Konservasi, apakah wilayah ini sudah dikonfirmasi tidak menjadi wilayah yang sengketa, karena ini akan menjadi sebuah produk hukum Provinsi Kalimantan Timur walaupun pada konservasi perencanaan; keduabelas, pada zona budidaya apa yang menjadi alasan tim penyusun tidak memasukkan seluruh kawasan budidaya tradisional di kawasan Delta Mahakam, Kecamatan Muara Jawa, Kecamatan Samboja dan sebagian wilayah Kecamatan Muara Badak Kabupaten Kutaikartanegara.
Melihat dokumen dan Raperda RZWP3K itu bagaimana Raperda RZWP3K ini menjadi jawaban atas semua keresahan dan krisis yang terjadi pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang ada di Kalimantan Timur. Yang ada jika Raperda RZWP3K tersebut disahkan secara terburu-buru, maka berdampak dan berpotensi menyingkirkan, merampas, serta membatasi ruang hidup masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, khususnya nelayan tradisional serta rusaknya ekosistem laut dan lingkungan hidup. Maka dokumen dan Raperda RZWP3K Provinsi Kalimantan Timur wajib ditolak, adapun tuntutan dari Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Ruang (AMUK Bahari) Kalimantan Timur :
1. Batalkan RZWP3K Kaltim
2. Tarik kembali draf Raperda RZWP3K Kaltim ke rakyat
3. Libatkan partisipasi nelayan tradisional dan masyarakat pesisir di Kaltim secara luas.