Ini Penjelasan Lengkap Sri Mulyani Terkait Koreksi APBN Indonesia di Masa Pandemi Covid-19
Penulis: Redaksi Presisi
Kamis, 18 Juni 2020 | 1.594 views
Presisi.co - Menteri Keuangan (Menkeu) RI Sri Mulyani Indrawati sampaikan keterangan tertulis terkait kondisi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) ditengah masa pandemi Covid-19.
Lewat halaman Facebook pribadinya (@smindrawati), Sri Mulyani mengakui bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini mengalami koreksi. Namun, situasi tersebut disebutnya wajar jika dibanding dengan nagara lainnya.
Realisasi pendapatan negara s.d. 31 Mei 2020 mencapai Rp664,3 triliun atau 37% dari target penerimaan sesuai ketentuan Perpres 54 Tahun 2020, atau terkontraksi 9% jika dibandingkan dengan tahun lalu. Belanja negara mencapai Rp843,9 triliun atau mencapai 32,3%, tapi terkontraksi 1,4%. Berdasarkan realisasi pendapatan dan belanja tersebut, realisasi defisit mencapai Rp179,6 triliun atau 1,1% dari PDB.
Berikut pernyataan lengkap Sri Mulyani terhadap kondisi APBN Indonesia :
Sebagai pembuka, Saya jelaskan secara umum kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami koreksi, tetapi masih cukup wajar dibandingkan negara-negara lain. Stabilitas makro dan market confidence akan terus kita pertahankan di dalam momentum pemulihan ekonomi, terutama pada kuartal ketiga (Q3) ini.
Prakiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 akan sangat ditentukan oleh capaian di Q3, apakah lebih baik daripada kuartal kedua (Q2) dan apakah di kuartal keempat (Q4) akan ada, paling tidak, sinyal recovery yang mulai muncul dan menguat.
Proyeksi APBN di tahun 2020 masih menggunakan asumsi antara -0,4% hingga 2,3%. Namun berdasarkan hasil asessment terkini, terdapat indikasi bahwa kinerja di Q2 lebih baik dibanding hasil asessment pada Mei 2020. Tentu saja ini menyembulkan optimisme bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh positif di 2020.
Realisasi pendapatan negara s.d. 31 Mei 2020 mencapai Rp664,3 triliun atau 37% dari target penerimaan sesuai ketentuan Perpres 54 Tahun 2020, atau terkontraksi 9% jika dibandingkan dengan tahun lalu. Belanja negara mencapai Rp843,9 triliun atau mencapai 32,3%, tapi terkontraksi 1,4%. Berdasarkan realisasi pendapatan dan belanja tersebut, realisasi defisit mencapai Rp179,6 triliun atau 1,1% dari PDB.
Memperhatikan kondisi ini, fokus para pembuat kebijakan adalah mengupayakan kontraksi tersebut dapat diubah menjadi skenario pemulihan. Maka seluruh fokus APBN diarahkan pada upaya mengurangi tekanan yang begitu berat di Q2.
Anggaran untuk pemulihan ekonomi yang telah dialokasikan kini masuk di tahapan implementasi. Sebagian masih berada di tahap awal dan diharapkan segera full speed, lari kencang dengan tetap memperhatikan tata kelola yang baik. Harapannya pada Q3 akan mulai terjadi pemulihan, yang ditandai oleh geliat masyarakat, usaha kecil menengah, dunia usaha, dan daerah-daerah memulai kembali kegiatan ekonominya.
Saya pun menyampaikan kepada awak media bahwa saat ini seluruh negara di dunia terus melakukan kalibrasi ulang berbagai kebijakannya, tak terkecuali Indonesia. Kita akan terus fokus menangani dampak pandemi COVID-19 sembari berusaha mengupayakan berbagai langkah pemulihan ekonomi dengan terus secara disiplin menjalankan rambu-rambu kesehatan yang diterapkan di dunia. Karena setelah empat bulan masyarakat bergumul dan berjibaku dengan COVID-19, kegiatan ekonomi perlu bergeliat dan dipulihkan. Tentunya dengan tetap mengedepankan kesadaran menjalankan protokol kesehatan ya…!
Sebelum konferensi pers berakhir, muncul pertanyaan dari wartawan mengenai pajak atas transaksi elektronik sehubungan dengan surat dari Kantor Perwakilan Perdagangan AS atau US Trade Representative (USTR).
Saya perlu klarifikasi dan jelaskan. Sebelumnya, kita perlu memahami perbedaan dua jenis pajak menjadi dua, yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh).
PPN jelas bukan objek surat USTR, karena pihak yang sebenarnya membayar PPN adalah konsumen. Dalam mekanisme yang ada, konsumen yang menikmati layanan itu yang harus menyetorkan PPN-nya sendiri karena perusahaan penyedia layanan berdomisili di luar negeri. Namun, skema ini ini memiliki keterbatasan karena mengandalkan kesadaran konsumen, maka Pelaku Usaha Luar Negeri perlu ditunjuk menjadi pemungut PPN agar konsumen tidak perlu lagi menyetorkan sendiri PPN-nya.
Selama ini kita tidak dapat mewajibkan mereka menjadi pemungut. Tetapi, melalui UU Nomor 2 Tahun 2020 dan PMK Nomor 48/PMK.03/2020, mereka bisa menjadi pemungut PPN untuk disetorkan ke Indonesia.
Sistem ini sudah diterapkan di beberapa negara seperti negara-negara Uni Eropa (Januari 2015), Australia (Juli 2017), serta Singapura dan Malaysia (2020). Hingga saat ini para pelaku usaha dapat memahami dan menerima keputusan pemerintah. Di Indonesia, pemungutan PPN ini baru akan berlaku 1 Agustus 2020, sambil kita lakukan sosialisasi dan siapkan administrasi yang baik.
Sedangkan untuk PPh, menurut UU Nomor 2 Tahun 2020, konsep penentuan Badan Usaha Tetap (BUT) berdasarkan Significant Economic Presence (SEP), tidak lagi physical presence. Namun, konsep penentuan BUT ini tetap menghormati kesepakatan dalam Tax Treaty (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda), yang secara umum Tax Treaty yang berlaku masih menganut konsep physical presence.
Indonesia akan terus memantau dan berkomitmen menunggu tercapainya konsensus global tentang formulasi hak pemajakan yang adil sebagai suatu solusi jangka panjang, yang saat ini sedang dibahas di OECD dan G-20. Kita juga terlibat aktif dalam pembahasan, baik secara bilateral maupun multilateral, untuk mencapai kesepakatan global terkait pembagian hak pemajakan yang seragam. Dengan demikian dapat dipastikan Pajak Transaksi Elektronik tidak akan diimplementasikan dalam waktu dekat.
Mari tetap merawat optimisme, selalu waspada, dan terus bekerja sama, bergotong royong bagi kemajuan negeri!