Dari Represi ke Resiliensi, Kuliah Umum di Fisip Unmul Soroti Gerakan Rakyat
Penulis: Akmal Fadhil
Kamis, 18 September 2025 | 743 views
Kuliah Umum Dari Represi ke Resiliensi: Gerakan Rakyat dalam Bayang Kekerasan Negara” di Ruang Serbaguna Fisip Unmul, Rabu 17 September 2025. (Presisi.co/Akmal)
Samarinda, Presisi.co – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Mulawarman menggelar kuliah umum bertajuk “Dari Represi ke Resiliensi: Gerakan Rakyat dalam Bayang Kekerasan Negara” di Ruang Serbaguna Fisip Unmul, Rabu 17 September 2025.
Para narasumber pemantik yang hadir sepakat, resiliensi bukanlah sikap pasrah, melainkan kemampuan masyarakat untuk tetap bersuara, meski dalam keterbatasan.
Dari trauma kolektif, lahirlah kekuatan baru yang menjaga gerakan sosial tetap hidup.
Akademisi Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Herdiansyah Hamzah atau akrab disapa Castro, menekankan pentingnya konsistensi dalam gerakan rakyat.
Menurutnya, ketergantungan pada mahasiswa sebagai motor perubahan justru membuat gerakan mudah kehilangan daya dorong.
“Mahasiswa tetap sebagai gerakan pendobrak, tetapi pemukul sejatinya adalah masyarakat. Buruh, petani, masyarakat sipil. Mereka jauh lebih konsisten dibandingkan mahasiswa,” tegasnya.
Castro mencontohkan tren aksi di Samarinda pasca 1 September yang dianggap “mati suri”. Ia mengkritik adanya kelompok yang justru mendekat ke aparat ketimbang menguatkan konsistensi perlawanan.
“Kan lucu ya? Yang kita kritik adalah aparat represif, tapi justru malah bermesraan dengan pemerintah. Itu seperti Stockholm Syndrome,” ujarnya.
Castro mencontohkan aktivis buruh dari dulu 20 tahun yang lalu masih dengan orang yang sama.
Berbeda dengan dari mahasiswa, yang hari ini mereka teriak soal bagaimana melawan monster, besok justru jadi monster itu sendiri.
“Kalau tidak bisa aksi di jalan, ya tetap ributlah di media sosial, lewat tulisan, atau diskusi. Konsistensi itu barang mewah, tapi sangat penting untuk merawat gerakan,” tambahnya.
Dari perspektif perempuan, Refinaya dari Perempuan Mahardhika Samarinda, menilai kekerasan aparat menimbulkan trauma besar bagi masyarakat, terutama perempuan yang terlibat dalam gerakan sosial.
“Bersolidaritas dan terus menyuarakan adalah kunci agar gerakan tidak redam,” ujarnya.
Refinaya menegaskan, bahwa suara perempuan harus disambung dengan jejaring lintas kelompok, dituangkan dalam kreativitas budaya, dan diarsipkan agar sejarah represi dari perspektif perempuan tidak hilang.
“Sejarah represi harus ditulis dari sudut pandang perempuan agar tidak hilang dari ingatan bangsa,” katanya.
Sementara itu, Budayawan Kaltim, Romo Roedy Hardjo Wiyono, menekankan bahwa represi tidak hanya melarang kritik politik, tetapi juga membungkam kemanusiaan.
“Represi adalah cara membungkam jiwa manusia, mengekang imajinasi, bahkan membuat orang takut menjadi dirinya sendiri,” ungkapnya.
Namun, ia menegaskan bahwa seni selalu menemukan jalan melawan represi.
“Setiap kali suara dibungkam, seni selalu menemukan celah. Puisi, musik, teater, semua jadi bahasa rahasia rakyat untuk melawan. Kata-kata dan pengetahuan adalah senjata dalam suatu rezim yang menindas,” pungkas Romo Roedy. (*)