search

opini

Al-HikamIbn AthaillahSurga dan Nerakapahala dan dosa

Mengapa Tidak "Deal-dealan" Saja dengan Kematian

Penulis: Redaksi Presisi
Sabtu, 19 Desember 2020 | 1.722 views
Mengapa Tidak "Deal-dealan" Saja dengan Kematian
Ilustrasi. (Sumber Foto : Istimewa)

Kematian adalah pasti. Sebelum dirimu kesana, apa yang ingin kau lakukan?
Sebuah Pertanyaan mendasar ; tidak melulu bicara pahala dan dosa.


Hari ini beberapa dari kita masih tertipu dengan perbuatan amal. Yaitu kebersandaran diri pada amal. Atau dosa sebagai perilaku yang salah dan akan mendapat ganjaran.

Sebenarnya dasar dari pernyataan diatas adalah dengan mempertanyakan kembali untuk apa kita habiskan hidup ini jika kematian merupakan suatu kepastian.

Maka pertanyaan yang seharusnya muncul adalah ; sebelum dirimu kesana apa yang ingin kau lakukan? Karena hal ini merupakan dasar dari tindakan yang ikhlas. Tanpa pamrih. Sekaligus dilakukan karena atas dasar kebahagiaan dan juga cinta.

Penulis pernah berpikir bahwa kematian adalah merupakan bentuk kenaikan kelas untuk menuju sang pencipta. Artinya mereka telah di izinkan oleh-Nya untuk berada di tahapan selanjutnya — mendekat pada sang maha Raja.

Dari sini saya termenung, mengapa kita tidak "deal-dealan" saja dengan kematian. Dengan alasan jika saya mati besok, apa yang sudah saya lakukan? Atau, Apa yang saya ingin lakukan pada hidup yang ujungnya kekasih Tuhan pun tidak dapat mengira?

Tapi setelah dipikirkan kembali, pengalaman seperti ini merupakan cara berpikir dengan mengandai atau menebak-nebak dan belum tentu begitu rasanya. Artinya kita menghitung suatu hal yang sebenarnya kita tidak pantas menghitung. Adalah kebesaran sang Tuhan untuk melayarkan kapan dan dimana rahmat-Nya berlabuh — Kita tidak perlu mengurus hingga diranah itu.

Karenanya tak perlu berpura-pura..
Karena kita hanya cukup merasa..

Sebuah penggalan lirik lagu yang penulis buat sendiri untuk mem-presentasikan bahwa pada beberapa kondisi yang dialami manusia tidak akan cukup untuk dibicarakan, namun malah tuntas hanya dengan dirasakan. Bener?

Coba kita bertanya sekali lagi, jika kematian akan datang besok, apa yang ingin kita lakukan dalam hidup kita? Tentu kita akan membuat rangkaian berpikir masing-masing dalam keaadaan menunggu itu.

Maka penulis kira pointnya adalah bicara soal menunggu dan menanti. Entah karena rindu, atau tenggelam dalam sunyi. 'Hmmm.' :)

Next.

Kematian adalah hal pasti, namun kapan dan seperti apa kejadiannya hanya Dia yang Maha-besar yang memiliki kuasa. Saya pikir semua orang bersepakat dengan hal ini Kecuali, orang-orang atheis rasanya.

Kematian juga sering 'disangkut-pautkan' dengan baik buruk yang seseorang lakukan. Tidak sepenuhnya salah, namun hal ini menjadi kurang pas jika tidak dasari hati yang "bijak."
Dalam artian, bila mengetahui bahwa sesungguhnya pelaku perbuatan keji tersebut adalah manusia, maka bukankah sebuah cerminan diri bahwa kita juga manusia, yang juga dapat memasuki lubang yang sama?

Apakah kita sedang bicara soal besar dan kecilnya dosa seseorang? Lalu sesuatu dalam diri mencoba menghakimi? Penulis kira pertanyaan semacam ini dikeluarkan oleh personal yang tersesat sejauh-jauhnya.

Dalam buku terjemahan Al-Hikam milik Ibn Athaillah, disindir bahwa kita menjadi orang yang merasa hina (miskin) saat mencari kebutuhan, dan merasa berkuasa (kaya) saat dalam keadaan menolong. Padahal perbuatan kebajikan (menolong) merupakan kemurahan dari-Nya untuk dilakukan oleh mu. Pahamilah.

Jadi pada intinya adalah kita menjalani hidup bukan dengan landasan mengharap surga, atau takut pada neraka. Maka, tanyakan sekali lagi pada dirimu untuk apa engkau hidup.

Sementara penulis sendiri juga tengah mencari dan memahami, entah hingga sampai waktu melapukan, atau abadi ditelan massa.

Penulis : Jeri Rahmadani

Baca Juga