Penulis: Redaksi Presisi
Senin, 22 Juni 2020 | 873 views
Presisi.co – Aksi saling serang antar pendukung para pihak berkepentingan di sosial media, sering kali memicu perdebatan di ruang publik yang berkepanjangan. Perkawanan yang telah terjalin bertahun-tahun lamanya, berakhir seketika dampak dari sengitnya pertarungan di dunia maya.
Anggota Dewan Pers Arif Zulkifli dalam pernyataannya kepada VOA Indonesia menyebut kualitas konten yang tersaji di sosial media saat ini tak lagi menjadi hal yang penting. Terlebih, jika percakapan yang dilontarkan oleh para buzzer di internet, ditujukan untuk menjatuhkan pihak lawan yang mereka bela.
“Apa yang ditunjukkan kelompok (buzzer) ini untuk menduplikasi informasi lewat banyak-banyakan pendukung. Jadi, kontennya tak lagi penting. Terpenting itu berapa banyak yang tersebarkan,” kata Arif.
Akan hal tersebut, propaganda di media tak dapat lagi terhindari. Kabar hoax atau informasi palsu yang beredar pun kian liar beredar di sosial media.
“Jadi, berbagai informasi hoax itu sebenarnya muncul dengan modus membubuhkan kebohongan dengan sedikit kebenaran,” ungkapnya.
Fenomena ini sebenarnya lazim terjadi di negara-negara demokrasi. Namun demikian, tak berarti para petinggi atau pemilik sosial media terhindar dari tuntuttan untuk mempertanggung jawabkan tindakan para anonim tersebut.
Direktur Strategi Kebijakan Publik Twitter Nick Pickles angkat bicara. Menurutnya, entitas media dan akun pemerintahan saat ini terkait dalam satu perbincangan yang sama, yakni geopolitik.
“Misalnya kami melihat adanya akun-akun Tiongkok yang membandingkan reaksi aparat di Amerika Serikat (AS) dengan demo yang terjadi di Hongkong,” katanya, masih dari sumber yang sama.
Bahkan, kamis pekan lalu Facebook dikabarkan telah menghapus postingan tim kampanye Donald Trump karena memuat symbol yang digunakan oleh Nazi untuk tahanan politik mereka saat itu.