search

Berita

Lutung LutaiYayasan Konservasi Alam NusantaraHutan Lindung WeheaPresbytis canicrusSatwa Endemik KalimantanEndangered

Kisah Lutung Kutai, Primata Misterius yang Terselamatkan Adat Wehea Meski Belum Dilindungi Negara

Penulis: Redaksi Presisi
1 jam yang lalu | 0 views
Kisah Lutung Kutai, Primata Misterius yang Terselamatkan Adat Wehea Meski Belum Dilindungi Negara
Potret Kamera Trap yang mengabadikan pergerakan Lutung Kutai. (Dok. Yayasan Konservasi Alam Nusantara)

Kutai Timur, Presisi.co – Di balik rindang Hutan Lindung Wehea, sebuah spesies primata yang pernah dianggap hilang kini kembali menampakkan jejaknya. Ia adalah Lutung Kutai atau Presbytis canicrus, satwa endemik Kalimantan yang keberadaannya hanya tersisa di dua titik hutan dan bahkan belum tercatat sebagai satwa dilindungi di Indonesia.

Padahal, secara global spesies ini sudah masuk kategori Endangered atau Terancam Punah.

Namun cerita yang paling mengejutkan bukan hanya soal status konservasinya, melainkan kenyataan bahwa pelestarian Lutung Kutai hari ini lebih banyak bergantung pada aturan adat, bukan regulasi negara.

Primata langka yang sempat dinyatakan hilang

Lutung Kutai sempat tak terlihat selama bertahun-tahun hingga akhirnya terdeteksi kembali lewat kamera jebak di Hutan Lindung Wehea pada 2012. Waktu itu, para penjaga hutan adat dan tim peneliti mencatat kemunculan primata berleher putih yang khas, namun tak langsung menyadari bahwa mereka menemukan sesuatu yang sangat penting.

“Temuan itu sebenarnya bukan baru karena banyak peneliti di Wehea. Data awalnya berasal dari para ranger, hanya waktu itu tidak tahu bahwa jenis ini spesial” ujar M Arif Rifqi, Spesialis Spesies Terancam Punah dari Yayasan Konservasi Alam Nusantara YKAN kepada awak media, belum lama ini.

Menurut Arif, data ilmiah tentang Lutung Kutai sangat minim. Bahkan perjumpaan langsung hampir tidak pernah terjadi, kecuali melalui kamera jebak di sepan-sepan tertentu.

“Sampai sejauh ini belum ada banyak pengetahuan tentang kehidupan primata ini. Ekologinya, perilakunya seperti apa, belum bisa diikuti. Perjumpaan langsung selain di sepan itu tidak banyak” jelasnya.

Mengapa belum masuk daftar satwa dilindungi

Fakta mengejutkan lainnya, hingga kini Presbytis canicrus belum masuk daftar satwa dilindungi di Indonesia, meskipun seluruh indikator biologis menegaskan ia layak masuk kategori tersebut.

Arif menyebut penyusunan aturan perlindungan satwa di Indonesia kemungkinan tidak mendapatkan basis sains memadai.

“Mungkin pada saat penyusunan P20 tahun 2018 tentang jenis satwa dilindungi, datanya belum tersedia. Tidak update terhadap perkembangan sains primata sehingga tidak masuk” ungkapnya.

Padahal, spesies ini merupakan endemik Kalimantan Timur bagian pesisir yang penyebarannya hanya dapat ditemukan di Wehea dan Taman Nasional Kutai dengan status global Endangered yang populasinya sangat kecil dan sulit diidentifikasi

Kondisi ini menunjukkan ada kesenjangan besar antara data ilmiah dan kebijakan konservasi.

Dulu dikira punah, kini hanya tersisa di dua hutan

Laporan terakhir menyebut Lutung Kutai hanya tersisa di Hutan Lindung Wehea (Kutai Timur) dan Taman Nasional Kutai (TNK).

Beberapa perusahaan pemegang konsesi juga pernah melaporkan temuan sporadis, seperti di Karya Lestari dan Gunung Gajah. Namun populasi jelas tidak diketahui.

“Hewan ini sangat sensitif, metodologi menghitung populasinya tidak mudah. Jika tidak ada yang bisa mengikuti pergerakannya, kita tidak tahu kelompok dominan atau kelompok oportunis. Sementara itu penting untuk menghitung populasi” jelas Arif.

Kearifan adat Wehea menjadi benteng terakhir

Di tengah minimnya perlindungan formal negara, justru masyarakat adat Dayak Wehea yang menjaga kelangsungan hidup spesies ini.

Sejak 2004, mereka menginisiasi perlindungan Hutan Lindung Wehea, menutup akses illegal logging, dan menjaga kawasan dengan sistem adat. Pendekatan ini terbukti efektif menyelamatkan banyak satwa, termasuk Lutung Kutai.

“Model pengelolaan Wehea ini dilihat banyak pihak. Banyak provinsi datang belajar. Karena hutan lindungnya benar-benar terjaga, tidak ada lagi illegal logging. Inisiatif masyarakat adat menjadi contoh nasional dan dunia” ungkap Edy Sudiono, Manajer Kemitraan Program Terestrial YKAN.

Ia menegaskan komunitas adat adalah benteng terakhir penyelamat hutan.

“Semua kawasan hutan pasti punya ancaman. Karena itu masyarakat adat harus tetap didampingi. Mereka menjaga Wehea hampir seperempat abad. Tajuknya semakin menyatu, sungainya bening. Ini model nyata pengelolaan hutan yang berhasil” tambahnya.

Lutung Kutai dan julukan Lutung Drakula

Sosok Lutung Kutai semakin dikenal setelah seorang jurnalis Kaltim menjulukinya “Lutung Drakula”.

“Karena warna putih atau abu-abu yang dominan di leher sampai dada, terlihat seperti memakai jubah” kata Awaluddin Jalil, yang pernah ikut survei satwa ini di Wehea.

Julukan itu menambah daya tarik publik, namun sekaligus menjadi pengingat bahwa spesies ini masih berada di ambang kepunahan.

Pengingat keras untuk Indonesia

Kisah Lutung Kutai adalah cermin dari dua hal penting:

1. Bahwa satwa endemik Indonesia bisa punah tanpa negara pernah menyadari jumlahnya.

2. Bahwa kearifan masyarakat adat terbukti mampu melindungi keanekaragaman hayati ketika hukum gagal hadir.

Hari ini Lutung Kutai masih hidup, masih terdeteksi, dan masih bertahan. Tetapi tanpa perlindungan hukum yang jelas, nasibnya tetap terombang-ambing.

Keberadaannya menjadi alarm bahwa Indonesia membutuhkan pembaruan regulasi perlindungan satwa yang berbasis riset terkini, bukan daftar statis yang tertinggal dari perkembangan sains. (*)

Editor: Redaksi

Baca Juga