Pemimpin atau Sekadar Penguasa? Membedah Relevansi Teori James MacGregor Burns dalam Demokrasi Kita
Penulis: Opini
1 hari yang lalu | 520 views
Dr. Syaifuddin, M.Si., CICS, Dosen Pascasarjana dan analis Komunikasi Politik & Kebijakan Publik, Universitas Mercu Buana Jakarta.
"Demokrasi tanpa pemimpin transformasional ibarat kapal tanpa mercusuar, ia berlayar, tapi mudah tersesat di tengah gelombang ambisi dan kepentingan sesaat."
Presisi.co - Dalam lanskap demokrasi modern, kepemimpinan bukan sekadar soal menduduki jabatan atau meraih kursi kekuasaan, melainkan soal bagaimana seorang pemimpin mampu menginspirasi dengan etika-moral, membangun visi, dan bersimbiosis mutualisme dengan rakyat untuk mencapai perubahan substantif. James MacGregor Burns, melalui Transformational Leadership Theory (1978), memberikan ketauladanan berpikir bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang tidak hanya menukar kepentingan dengan pengikutnya, tetapi mampu mengangkat nilai etika-moral, mampu berperan seperti menara api, memberikan ujud makna pada tujuan bersama, dan memotivasi rakyat hingga bisa bangkit dari keterpurukan. Pandangan ini relevan ketika kita melihat realitas demokrasi di Indonesia, di mana jabatan kerap dimanfaatkan sebagai prestise, bukan sebagai amanah besar untuk membawa perubahan.
Fenomena yang muncul hari ini adalah banyaknya orang yang begitu ambisius tanpa rasa malu untuk menduduki jabatan pemimpin, namun gagal menjalankan kesejatian peran kepemimpinan itu. Umumnya mereka tidak memiliki leadership spirit, leadership skills, organizational experieces, maupun kemampuan membangun visi yang inklusif. Akibatnya, kepemimpinan diisi oleh figur-figur yang hanya mengejar status formal tanpa memiliki substansi kepemimpinan transformasional sebagaimana yang dipikirkan Burns. Sistem demokrasi sejatinya memberi ruang yang luas bagi siapa pun untuk tampil sebagai calon pemimpin, namun ruang itu kerap disalahgunakan oleh mereka yang lebih mengutamakan material dan popularitas sesaat ketimbang kompetensi, kapasitas dan integritas.
Dalam konteks ini, kita perlu kembali merenungkan gagasan Burns tentang pemimpin transformasional sebagai model berpikir untuk menggerakkan rakyat melalui ide, moralitas, dan visi jangka panjang. Demokrasi akan kehilangan esensinya bila kursi kepemimpinan hanya diisi oleh mereka yang miskin pengalaman, gagap dalam berorganisasi, dan tidak terbukti dalam rekam jejak pengabdian pada rakyat. Karena itu, opini ini hendak membuka pikiran publik bahwa kepemimpinan sejati dalam demokrasi bukanlah hasil dari ambisi semata, melainkan lahir dari proses panjang pembelajaran, kepekaan sosial, serta komitmen moral untuk mengubah keadaan masyarakat ke arah yang lebih baik.
Krisis Kepemimpinan
Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, namun realitas kepemimpinan kita masih jauh dari semangat transformasional sebagaimana digagas Burns. Banyak figur politik yang naik ke panggung kekuasaan dengan janji perubahan, namun berakhir sebagai pemimpin transaksional yang hanya sibuk membagi-bagi jabatan, proyek, dan konsesi. Alih-alih menginspirasi dan mengangkat nilai moral. Kepemimpinan seperti ini justru memperdalam jurang ketidakpercayaan publik. Survei Indikator Politik Indonesia (2024) mencatat, tingkat kepuasan publik terhadap elite politik hanya berkisar 50%, angka yang menunjukkan setengah dari total jumlah penduduk meragukan kapasitas pemimpinnya. Ini cermin dari kegagalan menghadirkan kepemimpinan transformasional.
Krisis kepemimpinan transformasional ini juga tampak pada sebagian pemimpin gagal memanfaatkan momentum perubahan. Alih-alih menggunakan kekuasaan untuk memperkuat institusi dan mengangkat derajat masyarakat, banyak yang terjebak pada rutinitas administratif. Akibatnya, inovasi dan terobosan yang diharapkan rakyat tidak pernah lahir. Dalam demokrasi modern, pemimpin seharusnya berperan sebagai agen perubahan, bukan sekadar pelaksana prosedur. Kekosongan inilah yang menimbulkan keputusasaan politik dan rendahnya partisipasi kritis rakyat.
Demokrasi Tersandera
Dalam system demokrasi, pemimpin seharusnya menjadi teladan dalam menjaga ruang partisipasi publik, kebebasan berpendapat, dan keadilan hukum. Namun, praktik yang terjadi justru sebaliknya. Ruang demokrasi kerap dipersempit melalui regulasi atau kebijakan yang mengekang kritik, kebebasan mimbar warga dikangkangi. Pemimpin yang gagal memahami makna demokrasi cenderung melihat perbedaan pendapat sebagai ancaman, bukan sebagai energi untuk memperbaiki kebijakan dan keadaan. Padahal, Burns menekankan bahwa pemimpin transformasional mampu mengajak pengikutnya berdialog, menumbuhkan visi bersama, dan membangun komunikasi deliberatif dan konsensus. Demokrasi yang dikebiri hanya akan melahirkan otoritarianisme ala komunis yang mengkhianati prinsip kedaulatan rakyat.
Fenomena demokrasi yang terkekang juga terlihat dari bagaimana oposisi atau suara kritis sering dipinggirkan dengan stigma negatif yang mengada-ada. Dalam beberapa kasus, kebijakan strategis lebih banyak diputuskan secara elitis tanpa melibatkan partisipasi rakyat secara luas. Hal ini menimbulkan jurang antara penguasa dan rakyat, padahal seharusnya demokrasi mendekatkan keduanya. Jika situasi ini dibiarkan, demokrasi Indonesia bisa menjadi “formil” tanpa substansi, hanya sekadar pesta lima tahunan, tanpa makna partisipatif yang sejati.
Jabatan dan Abuse of Power
Salah satu penyakit kronis dalam kepemimpinan Indonesia saat ini adalah praktik penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan, sepanjang 2004-2024, lebih dari 1.300 pejabat publik ditangkap karena kasus korupsi, sebagian besar di level Kepala Daerah. Fakta ini memperlihatkan bahwa banyak pemimpin yang memandang jabatan sebagai “alat” memperkaya diri, bukan sebagai amanah rakyat. Model kepemimpinan transaksional ini mengikis kepercayaan rakyat terhadap institusi demokrasi. Burns sendiri menegaskan bahwa kepemimpinan sejati tidak boleh ada pada pusaran imbalan material, tetapi harus melampaui kepentingan pribadi menuju kepentingan kolektif.
Ketika jabatan dijadikan sarana akumulasi kekayaan, maka kepemimpinan kehilangan legitimasi moral. Rakyat tidak lagi melihat pemimpin sebagai teladan, tetapi hanya sebagai menara gading yang layak dibanggakan tanpa manfaat, berjarak dengan realitas rakyat bawah. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme memperkuat kesan bahwa demokrasi hanya menjadi instrumen untuk segelintir orang. Akibatnya, idealisme kepemimpinan transformasional menjadi semakin sulit tumbuh karena fakta yang ditampilkan justru kontraproduktif.
Politik Kedekatan
Fenomena politik Indonesia hari ini juga diwarnai oleh pola kepemimpinan berbasis “like and dislike”. Seorang pemimpin sering kali mengangkat orang-orang terdekat, keluarga, atau kelompoknya sendiri, sementara mengabaikan profesionalisme dan meritokrasi. Hal ini menciptakan kultur birokrasi yang tidak sehat dan menyuburkan praktik nepotisme. Padahal, kepemimpinan transformasional mensyaratkan keadilan, keterbukaan, serta kemampuan mengakomodasi berbagai potensi dan pandangan. Jika pola “politik kedekatan” ini terus dipelihara, maka demokrasi hanya akan menjadi alat untuk memperkuat dinasti kekuasaan, bukan untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat.
Nepotisme ini semakin berbahaya ketika terjadi di level daerah maupun nasional, karena berpotensi menyuburkan oligarki yang menyumbat kanal mobilitas sosial. Talenta-talenta muda yang kompeten justru terlempar dan tersisih karena tidak memiliki akses pada lingkaran kedekatan itu. Demokrasi akhirnya kehilangan daya tawar meritokratis, dan berubah menjadi arena eksklusif yang hanya bisa dimasuki oleh mereka yang punya hubungan darah atau pertemanan dekat. Ini bertentangan dengan nilai demokrasi yang seharusnya membuka peluang setara bagi semua warga negara.
Retorika Kosong
Slogan-slogan atas nama demokrasi dan kebersamaan kerap digaungkan oleh para pemimpin, namun realitasnya kebijakan politik yang diambil sering kali hanya menguntungkan diri pribadi dan kelompok tertentu. Narasi keadilan dan kebersamaan yang kerap digaungkan di depan rakyat tidak lebih dari retorika kosong tanpa makna dan realita. Misalnya, program pembangunan yang diklaim untuk kepentingan rakyat, pada praktiknya sering diarahkan pada daerah dan atau pihak yang memiliki kedekatan politik dengan penguasa. Keandilan dan kebersamaan palsu ini berdikotomi dengan esensi kepemimpinan transformasional yang seharusnya menumbuhkan solidaritas sejati dan inklusivistik yang berbasis keadilan sosial.
Retorika kosong dalam symbol kebersamaan itu juga memiliki daya rusak atas kepercayaan publik. Rakyat semakin apatis dan skeptis karena mereka sadar bahwa slogan keadilan dan kebersamaan hanya dipakai sebagai alat kampanye, sementara kebijakan riil jauh dari semangat retoriknya. Akibatnya, demokrasi gagal membangun rasa memiliki di tengah rakyat. Burns menegaskan, pemimpin transformasional harus mempraktikkan nilai solidaritas, bukan hanya menyuarakannya. Jika tidak, maka jargon keadilan dan kebersamaan akan terus menjadi pepesan kosong semata, dan pada tingkat tertentu akan menyuburkan benih separatist movement, civil disobediace, social insuret, hingga mungkin bereskalasi ke uprising di tengah bangsa.
Kembali ke Esensi Pemikiran Burns
Apa yang ditekankan James MacGregor Burns sejak empat dekade lalu masih sangat relevan sebagai pusau analisis terhadap kasus tercela kepemimpinan di Indonesia hari ini. Seorang pemimpin sejati adalah mereka yang mampu mengubah nilai, memberi inspirasi, dan menumbuhkan kepercayaan rakyat. Demokrasi Indonesia tidak boleh hanya menjadi panggung perebutan kekuasaan, melainkan harus menjadi ruang bagi lahirnya pemimpin visioner dengan jiwa, keterampilan, dan pengalaman organisasi yang mumpuni. Tantangan terbesar kita hari ini bukan sekadar memilih pemimpin, tetapi memastikan yang terpilih benar-benar mampu memimpin secara transformasional, mampu mendorong perubahan, menjaga etika-moral demokrasi, dan membangun masa depan yang lebih baik bagi seluruh rakyat. Pemimpin transformasional tidak lahir dari ambisi pribadi, melainkan dari panggilan jiwa persaudaraan, kejujuran, dan pengabdian. Hanya dengan cara itulah demokrasi Indonesia dapat menemukan arah sejatinya, yakni demokrasi yang melahirkan pemimpin untuk rakyat, bukan pemimpin untuk dirinya sendiri, keluarga, dan teman dekat.
Penulis:
Dr. Syaifuddin, M.Si., CICS. Dosen Pascasarjana dan analis Komunikasi Politik & Kebijakan Publik, Universitas Mercu Buana Jakarta.
Opini ini adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Presisi.co