Presisi.co - Dua orang rekan berbincang tentang gaya hidup di meja makan pada Selasa, 19 Agustus 2025 siang. Gegara gaya hidup, dengan yakin sang rekan menjelaskan tentang temannya, dia punya hutang dan membuat repot karena dirinya jadi tumpuan mediator menagih hutang.
Repot? Memang begitulah keadaannya. Betapa upaya menagih hutang menjadi begitu kompleks, dibandingkan dengan memperoleh hutang. Tak percaya? Coba cek saja beragam promosi pemindahan - uang utamanya daring. Mengapa gaya hidup? Rekan yang satunya dengan antusias bercerita tentang berbagai kedermawanan – teman lainnya lagi, untuk traktir jajan atau kegiatan makan bagi circlenya. Eh, ternyata uang yang digunakan untuk membelanjakan itu bersumber dari hutang. Sungguh kedua rekan saya itu menyesali perilaku yang mengikuti gaya hidup, berujung dengan hutang yang bertumpuk.
Buat para produsen, baik yang menghasilkan barang ataupun jasa, gaya hidup adalah sebuah klasifikasi segmentasi yang dalam teori lama masuk ke psikografis, jadi sasaran komunikasi pemasaran. Kepemilikan uang pada konsumen bukan masalah penting di masa kini ketika perlu mengonsumsi barang atau jasa. Proyeksi kebutuhan/keinginan pada konsumen dengan karakteristik psikografis tertentu bisa jadi ide penyusunan pesan pemasaran.
Di meja, ketika makan siang membicarakan teman adalah alternatif aman daripada membicarakan diri sendiri. Bahkan sering, tak melibatkan fikiran dan perasaan partisipan diskusi meja makan itu. Perihal keamanan rupanya penting bagi upaya pemenuhan aneka kebutuhan hidup kita. Bukan hanya terbatas pada relasi interpersonal, tapi juga aman secara finansial.
Ketika zaman berkembang dan diikuti teknologi dalam kebudayaan manusia, maka model pertukaran barang pun berubah. Awalnya ada barter lalu gunakan alat tukar, kemudian tak terbatas secara langsung tunai. Jadilah pembayaran bisa tertunda, bisa tanpa melibatkan uang atau alat bayar lainnya, ketika terjadi jual beli. Di sinilah mulanya betapa kompleks jual beli tanpa uang dan tidak mesti tunai, yang berkeliaran dengan gaya hidup.
Para pemasar menyebut bahwa kebutuhan/keinginan pada pihak konsumen yang diprospek, yang menjadi dasar proses produksi barang/jasa dilakukan oleh mereka. Berdasarkan itu, lalu mereka juga melakukan komunikasi untuk mempromosikannya. Di sinilah pesan promosi yang begitu persuasif menjadi stimulus pemicu kegiatan pembelian. Alur ini bisa kita lihat sebagai proses telur – ayam, mana yang lebih dulu.
Impulse buying yang disebut sebagai pembelian yang tidak direncanakan terlebih dahulu, bisa dikarenakan oleh 4 faktor; emosi, promosi, kemasan produk, dan lingkungan toko. Karena mengikuti emosi untuk membeli itu bisa menimbulkan dampak negatif dan positif. Bila demi gaya hidup, maka dampak negatif yang berpotensi muncul adalah berhutang, lebih bahaya berhutang daring karena kemudahan prosesnya. Aduh....