search

Daerah

BI RateBank IndonesiaEkonomPurwadiUniversitas Mulawarman

Dilema Penurunan BI Rate, Pengamat: Mengejutkan

Penulis: Giovanni Gilbert Anras
3 jam yang lalu | 0 views
Dilema Penurunan BI Rate, Pengamat: Mengejutkan
Ilustrasi penurunan suku bunga. (Istimewa)

Samarinda, Presisi.co - Pengamat ekonomi dari Universitas Mulawarman, Purwadi menilai langkah Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan menjadi 5,75 persen sebagai kebijakan yang penuh dilema.

Sebelum Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan menjadi 5,75 persen, suku bunga BI berada pada level 6 persen sejak beberapa bulan terakhir.

Kebijakan tersebut sebelumnya dimaksudkan untuk menjaga stabilitas moneter di tengah tekanan inflasi global dan gejolak nilai tukar rupiah.

Meskipun bertujuan mendorong pertumbuhan kredit perbankan bagi pelaku usaha, dampaknya terhadap ekonomi domestik maupun global masih menjadi tanda tanya besar.

“Dengan begitu, diharapkan roda ekonomi berputar lebih cepat, membuka lapangan kerja, dan meningkatkan daya beli masyarakat,” ujar Purwadi pada Senin, 20 Januari 2025.

Namun, ia mengakui penurunan suku bunga ini mengejutkan, mengingat situasi global yang masih rentan akibat perang antarnegara dan ketidakstabilan ekonomi global. Kondisi ini memberikan tekanan besar pada sektor yang bergantung pada impor, seperti industri manufaktur dan konsumsi.

“Rupiah saat ini masih di angka 16.000-an per dolar AS. Bahkan saat suku bunga BI ditetapkan, kurs rupiah sempat menyentuh Rp16.300. Ini menunjukkan rupiah kita belum stabil,” tambahnya.

Purwadi menyoroti penurunan suku bunga berpotensi meningkatkan kredit perbankan, terutama di sektor usaha kecil dan menengah. Namun, di sisi lain, kredit besar-besaran selama ini justru banyak mengalir ke sektor tambang dan perkebunan seperti batu bara dan sawit.

“Perbankan selama ini membiayai sektor-sektor yang merusak lingkungan. Jadi, walau kredit tumbuh, dampak ekologisnya juga harus diperhatikan,” ungkapnya.

Walaupun nilai tukar dolar tinggi menguntungkan eksportir batu bara dan sawit, dampaknya terhadap ekonomi lokal tidak signifikan.

“Ekonomi Kaltim masih didominasi oleh batu bara, sekitar 40 persen. Tapi dampaknya ke masyarakat kecil minim, karena pelaku usahanya sebagian besar adalah perusahaan besar dengan basis di luar Kaltim,” jelasnya.

Purwadi menyimpulkan, kebijakan BI ini memiliki niat baik untuk mendorong pertumbuhan kredit. Namun, keberhasilannya tergantung pada respons pengusaha dalam memanfaatkan peluang tersebut.

“Jika kredit tidak tumbuh signifikan, BI mungkin harus kembali menaikkan suku bunga. Selain itu, selama nilai tukar rupiah masih lemah di atas Rp16.000, ekonomi domestik akan terus tertekan, terutama bagi sektor yang bergantung pada impor,” pungkasnya.

Kebijakan ini, menurut Purwadi, bak dua sisi mata uang. Di satu sisi, dapat memperbaiki sektor kredit, tetapi di sisi lain, stabilitas nilai tukar rupiah tetap menjadi ancaman besar bagi perekonomian nasional.

"Kayak kita memperbaiki muka di sebelah tapi muka di sebelah kita tetap saja ancuran-ancuran. Bermanfaatnya jangka pendek aja kali. Paling nanti balik lagi, enggak lama kemudian," tutupnya. (*)

Editor: Readaksi