Akademisi: Samarinda Perlu Kebijakan Inklusif untuk Minoritas
Penulis: Giovanni Gilbert Anras
Sabtu, 12 Oktober 2024 | 355 views
Samarinda, Presisi.co – Safaranita Nur Effendi, seorang akademisi ilmu pemerintahan, menyampaikan pandangannya mengenai pentingnya kebijakan inklusif bagi minoritas agama dan gender dalam acara #NgoPi-Kaltim Seri 3 yang digelar di Teras Samarinda, Jalan Gajah Mada, pada Jumat, 11 Oktober 2024.
Safaranita menyoroti, Kalimantan Timur, sebagai wilayah yang kaya akan keberagaman pendatang, membutuhkan pendekatan yang lebih terbuka dan inklusif dalam mengakomodasi hak-hak minorita. Khususnya terkait pembangunan rumah ibadah dan penerimaan kelompok gender.
“Jika kita bicara tentang agama dan gender, ini adalah isu yang sangat menarik, terutama di Samarinda yang menjadi tempat berkumpulnya banyak pendatang. Pemerintah seharusnya lebih peka dalam memberikan ruang bagi masyarakat untuk berkontribusi, termasuk dalam mempermudah perizinan pembangunan rumah ibadah bagi minoritas,” ujar Safaranita.
Ia menambahkan, pemerintah perlu merevisi kebijakan perizinan pembangunan rumah ibadah yang seringkali menjadi polemik, terutama bagi kelompok agama minoritas.
Nita sapaan akrabnya, mencontohkan kasus di Kalimantan Timur di mana pendirian gereja mengalami hambatan di daerah mayoritas Muslim. Menurutnya, hal itu bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama.
“Tidak seharusnya ada pembeda dalam hal agama. Di daerah mayoritas Muslim, orang Kristen kadang sulit mendirikan gereja, begitupun sebaliknya. Pemerintah harus lebih inklusif dan memastikan setiap agama memiliki ruang yang aman untuk beribadah,” lanjutnya.
Selain persoalan agama, Safaranita juga menyoroti minimnya perhatian pemerintah terhadap kelompok gender non-biner dan kelompok minoritas seksual lainnya.
Ia menegaskan, banyak dari mereka yang masih menghadapi diskriminasi, baik dari lingkungan sosial maupun kebijakan pemerintah yang belum memberikan ruang aman bagi mereka.
“Kelompok yang tidak sesuai dengan orientasi gender konvensional sering dianggap aib oleh masyarakat. Pemerintah harus memberikan perhatian lebih kepada kelompok ini dengan menciptakan ruang yang aman bagi mereka untuk hidup tanpa stigma. Seharusnya, kebijakan daerah dibuat lebih inklusif untuk semua kalangan, termasuk agama dan gender,” jelasnya.
Nita juga mengkritisi rendahnya tingkat inklusivitas dan kesadaran pemerintah Kaltim terhadap isu-isu minoritas ini, dengan menyebut bahwa hal tersebut berpengaruh pada kebijakan tata kelola kota yang masih kurang memperhatikan kebutuhan semua warganya.
"Ketika kita berbicara tentang bencana atau krisis sosial, itu seringkali berkaitan dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Jika pemerintah lebih responsif dan inklusif, banyak masalah sosial bisa diatasi. Jadi, tata kelola yang inklusif ini harus menjadi perhatian utama, baik bagi pemerintah daerah maupun calon pemimpin Kaltim ke depan," pungkasnya.
Selain Nita, diskusi kali ini juga menghadirkan Willy Sam Hazes dari TehEs Project dan Hendra Kusuma, seorang pendeta, yang menambah kekayaan perspektif dalam perbincangan di #NgoPi-Kaltim Seri 3 ke hadapan publik menjelang Pilkada 2024. (*)