Film Horor Indonesia Selalu Dinanti, Lahir dari Obsesi Penonton Meski Sulit Diterima Akal Sehat
Penulis: Redaksi Presisi
Minggu, 16 Juli 2023 | 5.520 views
Presisi.co - Film-film horor, terutama yang bernuansa mistis, banyak mewarnai industri film Indonesia belakangan ini. Film-film ini laris, dan bahkan mengalahkan film-film genre lain. Sejumlah pakar berpendapat, adalah faktor budaya yang mendorong masyarakat tanah air terobesi pada film-film seperti itu. Mereka juga mengatakan, karena kaya akan ikon horor yang khas, Indonesia berpotensi memproduksi film-film yang dipastikan mampu bersaing di ajang internasional.
“KKN di Desa Penari”, sebuah film horor yang dirilis pada tahun 2022, membuat kejutan besar di industri film Indonesia. Menurut Filmindonesia.or.id, film karya rumah produksi MD Pictures ini tercatat sebagai film Indonesia terlaris sepanjang masa di tanah air. Jumlah penontonnya di bioskop mencapai 10,1 juta orang.
Film ini mengalahkan rekor yang sebelumnya dibukukan “Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1”, selama lebih dari enam tahun. Film komedi itu sendiri, saat dirilis tahun 2016, membukukan jumlah penonton di bioskop hampir 7 juta orang. Urutan ketiga film terlaris sepanjang masa juga film horor, yakni “Pengabdi Setan 2: Communion”. Film ini hanya kalah sekitar setengah juta penonton dibandingkan dengan “Warkop”.
Menurut Filmindonesia.or.id, “KKN di Desa Penari” hanya kalah dari film garapan Marvel Studio yang dirilis tahun 2019, “Avengers: Endgame”, yang memang menempati puncak box office di berbagai penjuru dunia. Film itu membukukan jumlah penonton 11,2 juta saat diputar di bioskop-bioskop Indonesia.
Manoj Punjabi, CEO dan pendiri MD Pictures, mengatakan keberhasilan “KKN di Desa Penari” adalah salah satu bukti bahwa masyarakat Indonesia terobsesi film-film horor. Film itu sendiri diangkat dari cerita viral berjudul sama, yang mengisahkan enam orang mahasiswa yang menjalankan kuliah kerja nyata (KKN) di sebuah desa terpencil. Namun, mereka sama sekali tidak menyangka bahwa desa yang mereka pilih bukanlah desa biasa, melainkan desa yang terkait dengan penari misterius.
Manoj bahkan berani mengatakan, meski sulit diterima akal sehat, cerita-cerita horor mudah diyakini kebenarannya oleh masyarakat Indonesia.
“Horror is very relatable (bagi masyarakat Indonesia). Mereka percaya kejadian ini. Mereka mungkin pernah melihat kesurupan, meski mereka percaya atau tidak percaya. Jadi gampang dicerna. Coba lihat film action, susah sekali menarik penonton di Indonesia,” komentarnya.
Mudahnya masyarakat Indonesia menerima film-film horor, menurut Manoj, tidak lepas dari kebudayaan masyarakat Indonesia yang cenderung percaya pada hal-hal mistis. Banyak orang Indonesia sejak kecil “dicekoki” oleh cerita-cerita hantu atau makhluk halus seperti Ratu Pantai Selatan, genderuwo, kuntilanak, kalong wewe, tuyul, babi ngepet dan lain-lain.
Para orang tua, saat berbagi cerita-cerita seperti itu sering kali tidak memiliki pengetahuan yang memadai untuk menjabarkan kemungkinan adanya penjelasan logis di balik hal-hal supranatural tersebut sehingga cerita-cerita itu tertanam dalam diri anak-anak itu hingga dewasa.
Pendapat itu dibenarkan Nadia Bulkin, penulis cerita-cerita horor sekaligus penggemar fanatik film-film horor. Penulis keturunan campuran Indonesia-Amerika yang kini tinggal di Washington DC ini merujuk pada pengalaman masa kecilnya.
“Anak-anak Indonesia mendapatkan banyak cerita horor ketika mereka masih sangat muda. Saya sendiri mengalami itu. Saya ingat ketika saya masih di sekolah dasar, ada guru yang menawarkan pilihan, ‘Kalian mau main di luar, atau mau mendengarkan cerita tentang hantu.’ Semua anak memilih mendengar cerita-cerita hantu,” jelasnya.
Nadia mengatakan, kepercayaan animisme (kepercayaan akan adanya makhluk halus dan roh) dan mistisisme (kepercayaan pada hal-hal gaib) mengakar kuat dalam kebudayaan Indonesia. Sehingga tak heran, katanya, film-film horor terutama yang berkenaan dengan seasuatu yang tidak bisa dijelaskan akal sehat bisa diterima dengan mudah oleh masyarakat Indonesia.
Dwi Nugroho, dosen Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, yang juga tercatat sebagai salah satu kritikus film di montasefilm.com, ikut membenarkan hal itu.
“Itu merupakan refleksi dari kebudayaan masyarakat setempat. Nah, di Indonesia, kebudayaannya memang suka hal-hal yang berbau mistis dan mitologi atau legenda. Masyarakat secara cultural sociology sudah mengarah ke sana,” ujarnya.
Dwi menjelaskan, masyarakat Indonesia pada umumnya senang membicarakan hal-hal yang berbau mistis dan horor sehingga bila ada opsi untuk melihatnya melalui medium audio visual seperti film, mereka merasa sangat tertarik. Mereka, kata Dwi, senang merasakan sensasi menakutkan dan menegangkan ketika menonton film-film itu.
Manoj sendiri mengatakan, keberhasilan film-film horor yang dibuat rumah produksinya tidak lepas dari keberhasilan timnya dalam melihat apa yang menjadi perhatian masyarakat sekaligus hingga batas tertentu, apa yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat.
“Ada yang cerita nyata, ada yang diinspirasikan kisah nyata, ada yang hanya viral. Jadi kita ambil elemen yang lebih real. Jadi kita tidak ngebuat-buat untuk sekedar nakut-nakutin. Kita harus ada dasarnya,” jelas Manoj.
Pernyataan Manoj ada benarnya, film-film horor yang laris di Indonesia pada umumnya adalah cerita-cerita seram yang sering beredar dari mulut ke mulut, seperti "Kuntilanak", "Suster Ngesot", "Jelangkung" dan "Suzzanna: Buried Alive", yang bercerita tentang Sundel Bolong.
Film-film horor seperti monster dan pembunuhan, meski diproduksi dalam anggaran besar di Hollywood, tidak diminati pemirsa Indonesia.
MD Pictures sendiri memproduksi film-film horor seperti “Sewu Dino”, “Asih”, “Ivana”, serial “Danur” yang semuanya terbukti laris saat diputar. “Sewu Dino”, yang dirilis April 2023, bahkan tercatat sebagai film terlaris hingga Juli 2023.
Menurut Nadia, ketertarikannya pada film-film horor juga karena film itu memicu adrenalin dan terkadang sulit ditebak. “Saya suka rasa takut. Saya menikmatinya. Saya kira film-film horor sangat mengesankan dan tidak membosankan,” jelasnya.
Nadia sendiri mengakui, ketereksposannya pada cerita-cerita horor mulai dari dongeng orang-orang di sekitarnya, hingga buku dan film, banyak mengilhaminya untuk membuat cerita-cerita horor. Cerita-cerita horor pendek karya Nadia telah diterbitkan di berbagai majalah dan antologi. Pada Agustus 2017, koleksi cerpen debut Nadia, “She Said Destroy”, diterbitkan oleh Word Horde.
Beberapa cerita Nadia dan “She Said Destroy” dinominasikan untuk Penghargaan Shirley Jackson, penghargaan yang diciptakan pada tahun 2008 untuk pencapaian luar biasa dalam literatur horor, ketegangan fantastis dan psikologis yang gelap.
Baru-baru ini, kisah Nadia “Truth Is Order and Order Is Truth” muncul dalam “Black Cranes, Tales of Unquiet Women”, sebuah antologi unik yang menampilkan cerita horor karya penulis Asia Tenggara yang membedah pengalaman mereka tentang “sesuatu yang lain”. Kisah Nadia pada antologi ini berkisar pada legenda terkenal Indonesia tentang Nyai Roro Kidul, Ratu Pantai Selatan dalam mitologi Sunda dan Jawa.
Terlepas dari tema, film-film horor Indonesia menurut Manoj sudah mengalami perubahan dari segi kualitas. Dulu, katanya, banyak film horor dibuat dengan anggaran sangat rendah, bisa dari Rp50 ribu hingga Rp2 juta, walhasil kualitasnya sangat rendah.
"Waktu 2017 kami rilis ‘Danur’, kami berhasil mendapatkan 2,7 juta penonton. Itulah awalnya dimulainya produksi film horor yang bermutu. Sebelumnya budget film-film horor umumnya low sehingga itu tercermin dalam kualitasnya yang njomplang. Minimal setelah ‘Danur’ ada banyak film horor bagus, seperti film ‘Pengabdi Setan’ yang production value-nya bagus, dan filmnya laris,” jelasnya.
Dwi Nugroho mengatakan, film-film horor Indonesia bila dikemas dengan baik sebetulnya mampu bersaing dengan film-film internasional yang diproduksi pusat-pusat film dunia. Indonesia, katanya, banyak memiliki ikon-ikon horor, seperti kuntilanak dan tuyul, yang pada umumnya tidak dikenal di belahan dunia yang lain dan bisa mengundang rasa penasaran orang-orang di luar negeri.
Menurut Dwi, kalau saja potensi ini digali, dan kemudian dikemas dalam bahasa yang universal atau mudah dipahami, dan dengan penceritaan yang baik, film-film horor Indonesia mampu bersaing di panggung internasional. (ab/uh)