search

Opini

MeritokrasiLutfhi A.M FounderHazkainteriorDemokrasi di Pemalang

Menggalakan Meritokrasi di Pemalang

Penulis: Opini
Sabtu, 12 Oktober 2024 | 247 views
Menggalakan Meritokrasi di Pemalang
Ilustrasi. (Sumber: Internet)

Presisi.co - Meritokrasi. Kata yang terdengar elitis di telinga mereka yang tak paham substansi. Di Pemalang, bahkan konsep sederhana ini bisa terdengar seperti jargon asing. Padahal, tanpa meritokrasi, kita hanya sedang berputar-putar dalam lingkaran kebodohan politik. Ya, kebodohan yang diwariskan dari generasi ke generasi oleh mereka yang menganggap politik sebagai sekadar alat kekuasaan, bukan ruang intelektual untuk membangun peradaban. Pemalang hanyalah cerminan kecil dari Indonesia yang lebih besar, namun di sana justru kita bisa melihat lebih jelas bagaimana meritokrasi diabaikan.

Mengapa kita harus peduli dengan meritokrasi? Karena tanpa meritokrasi, kita hanya sedang memilih orang-orang yang sekadar "pantas" menurut standar subjektif patron politik. Pejabat teras diangkat bukan karena kapasitas, melainkan kedekatan. Sistem ini tak jauh beda dengan feodalisme modern, di mana loyalitas pada penguasa lebih penting daripada kemampuan untuk berpikir dan bertindak secara rasional. Ini persis contoh kecil dari apa yang disebut ‘intelektual malas’. Mereka tidak bekerja untuk kebaikan publik, tapi untuk kenyamanan personal.

Pemalang, dengan segala kerumitannya, hanyalah mikrokosmos dari problem Indonesia secara umum. Demokrasi di Pemalang, seperti di banyak tempat lain, terjebak dalam apa yang saya sebut sebagai "demokrasi kosmetik." Terlihat cantik dari luar, namun di dalamnya penuh dengan riasan yang menutupi borok oligarki lokal. Oligarki, ya, kata yang sering saya ulang-ulang karena masalah utamanya di situ. Para oligark di Pemalang memilih pejabat teras seperti memilih pion di papan catur, bukan pemimpin yang akan memajukan daerahnya. Akhirnya, Pemalang tak pernah benar-benar maju.

Demokrasi tanpa meritokrasi hanyalah tirani yang disamarkan. Ia memberi ilusi kebebasan, padahal sebenarnya hanya memperpanjang umur oligarki. Di Pemalang, kita sering melihat para pejabat yang "terpilih" adalah mereka yang pandai bermain di balik layar politik, bukan yang benar-benar memiliki visi dan kompetensi. Meritokrasi tenggelam, digantikan oleh nepotisme, kroniisme, dan politik dinasti. Ini adalah kemunduran berpikir, dan masyarakat dibiarkan menerima ketidakmampuan ini sebagai normal.

Nah, mari kita tarik mundur sedikit ke belakang. Apa yang terjadi bila meritokrasi dijadikan prinsip dalam memilih pejabat teras? Sederhana: orang-orang terbaik akan tampil ke depan. Pejabat yang dipilih bukan karena kedekatan politik, melainkan karena kompetensi mereka. Ini seharusnya menjadi tujuan utama dari sebuah sistem demokrasi yang sehat. Namun kenyataannya, di Pemalang, meritokrasi hanyalah sebuah teori yang dikesampingkan demi ambisi pribadi atau golongan. Ironi, bukan?

Meritokrasi itu seperti oksigen bagi peradaban modern. Tanpanya, kita akan tercekik dalam polusi oligarki. Bayangkan jika pejabat teras di Pemalang dipilih bukan berdasarkan kedekatan politik, tetapi berdasarkan rekam jejak mereka dalam memajukan kesejahteraan masyarakat. Bayangkan jika kebijakan yang dihasilkan adalah hasil dari pemikiran rasional, bukan titipan dari kepentingan sempit kelompok tertentu. Ini bukan sekadar impian, ini adalah cara kerja peradaban yang sehat.

Nepotisme, di sisi lain, adalah racun yang perlahan-lahan membunuh kapasitas berpikir masyarakat. Politik dinasti, misalnya, adalah bentuk lain dari feodalisme yang tak pernah hilang. Jika seorang pejabat dipilih karena hubungan keluarga, apa yang kita dapatkan adalah kebodohan yang diwariskan. Inilah bentuk paling nyata dari apa yang saya sebut ‘reproduksi kejahilan’. Tidak ada inovasi, tidak ada keberanian berpikir bebas, hanya pengulangan dari kepentingan lama.

Pemalang tak bisa lagi bertahan dengan politik seperti ini. Dunia bergerak cepat, sementara Pemalang terjebak dalam status quo yang membosankan. Mereka yang mampu berpikir kritis, yang seharusnya menjadi pemimpin, terpinggirkan oleh mereka yang lebih lihai bermain politik praktis. Inilah tragedi Pemalang, dan juga tragedi Indonesia secara keseluruhan.

Dalam meritokrasi, politik tetap ada, tapi politik yang sehat adalah politik yang memberi ruang bagi kapasitas individu untuk berkembang. Pemalang perlu pejabat teras yang dipilih berdasarkan visi, bukan relasi. Transparansi harus menjadi fondasi, dan masyarakat harus terlibat aktif dalam mengawasi proses pemilihan pejabat. Jika ini dilakukan, Pemalang bisa menjadi contoh bagaimana meritokrasi dapat menjadi solusi atas masalah-masalah struktural di Indonesia.

Singkatnya, tanpa meritokrasi, Pemalang hanya sedang berjalan di tempat. Bahkan lebih buruk, mungkin sedang mundur perlahan. Dan itu adalah kekalahan bagi kita semua. Kita perlu memahami bahwa meritokrasi bukanlah sesuatu yang bisa ditawar-tawar. Ini adalah prinsip yang harus ditegakkan, karena di atasnya kita bisa membangun peradaban yang lebih adil, rasional, dan progresif. Jika Pemalang ingin maju, maka meritokrasi harus menjadi prinsip utama dalam memilih pejabat teras.

Penulis: Lutfi A.M Founder Hazkainterior

Catatan Redaksi:

Opini ini adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Presisi.co

Baca Juga