search

Opini

Maulid Nabiperbedaan pendapat

Dimensi Teologis, Fiqih, dan Sosial-Budaya Seputar Maulid Nabi Muhammad

Penulis: Opini
3 jam yang lalu | 57 views
Dimensi Teologis, Fiqih, dan Sosial-Budaya Seputar Maulid Nabi Muhammad
Akhmad Asyari Lc MA Hum

Presisi.co - Setiap tahun umat Islam di berbagai penjuru dunia memperingati maulid Nabi Muhammad, tepatnya pada tanggal 12 Rabi‘ al-Awwal. Perayaan ini beragam bentuknya; ada yang mengisinya dengan pembacaan sirah Nabi, salawat, pengajian, zikir bersama, hingga kegiatan sosial seperti sedekah. Di beberapa tempat, maulid bahkan dipadukan dengan tradisi budaya setempat yang menjadikannya semakin meriah.

Sejarah Awal Tradisi Maulid

Sejarah mencatat, maulid mulai populer sekitar abad ke-4 Hijriah pada masa Dinasti Fathimiyah di Mesir. Dari sana tradisi ini menyebar ke berbagai wilayah dunia Islam. Namun, karena tidak ada perintah langsung dari al-Qur’an maupun hadis mengenai peringatan maulid, para ulama berbeda pendapat. Ada yang mendukung dengan alasan syukur dan cinta kepada Nabi, ada pula yang menolak karena menganggapnya sebagai hal baru dalam agama.

Maulid sebagai Ekspresi Cinta dan Syukur

Bagi pendukungnya, maulid adalah cara mengekspresikan cinta kepada Rasulullah. Al-Qur’an menegaskan bahwa Nabi amat kasih kepada umatnya (QS. At-Taubah: 128) dan Allah sendiri memerintahkan kaum beriman untuk bersalawat kepadanya (QS. Al-Ahzab: 56). Rasulullah juga bersabda bahwa iman seorang muslim belum sempurna sampai ia mencintai beliau melebihi anak, orang tua, dan seluruh manusia.

Selain itu, peringatan maulid dianggap bentuk syukur atas kelahiran Nabi. Sebuah hadis menyebutkan bahwa Nabi sendiri berpuasa setiap Senin karena itu adalah hari kelahiran sekaligus hari beliau menerima wahyu. Dengan dasar itu, sebagian ulama menilai wajar bila umat Islam bersyukur atas kelahiran Nabi dengan cara berkumpul, berzikir, atau bersedekah.

Perbedaan Pendapat Para Ulama

Imam Jalaluddin As-Suyuthi dan Ibnu Hajar al-‘Asqalani termasuk ulama besar yang membolehkan maulid. Menurut mereka, meski tidak pernah dilakukan di masa Nabi, maulid bisa disebut bid‘ah hasanah (inovasi yang baik) jika isinya berupa zikir, salawat, dan perbuatan baik lainnya. Mereka mengutip ayat; “Katakanlah: Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira...” (QS. Yunus: 58), yang dipahami sebagai anjuran bergembira atas rahmat terbesar, yaitu lahirnya Nabi Muhammad.

Sebaliknya, ulama seperti Ibn Taymiyyah menilai maulid bukan bagian dari syariat karena tidak pernah dicontohkan Nabi maupun para sahabat. Beliau memasukkannya sebagai bid‘ah. Meski begitu, Ibn Taymiyyah tetap mengakui bahwa orang yang melakukannya dengan niat tulus mengagungkan Nabi bisa mendapat pahala atas niat baiknya. Landasan penolakan biasanya merujuk pada firman Allah bahwa agama sudah sempurna (QS. Al-Maidah: 3) dan hadis Nabi yang menolak amalan baru dalam agama.

Dimensi Sosial-Budaya dalam Tradisi Maulid

Selain aspek teologis dan fiqih, maulid juga memiliki dimensi sosial-budaya yang kuat. Di banyak negara muslim, peringatan maulid telah menjadi medium dakwah sekaligus perekat sosial. Misalnya, di Nusantara, tradisi maulid dikemas dalam bentuk selametan, pembacaan Barzanji atau Simthud Durar, hingga pesta rakyat yang memadukan unsur Islam dengan budaya lokal.

Hal itu menunjukkan bagaimana Islam berinteraksi secara kreatif dengan tradisi setempat tanpa kehilangan ruh spiritualnya. Dengan cara ini, maulid berfungsi sebagai sarana akulturasi budaya dan penguatan identitas keislaman masyarakat.

Perspektif Historis-Perbandingan

Dalam sejarah peradaban Islam, perdebatan mengenai maulid serupa dengan perbincangan tentang praktik-praktik keagamaan lain yang tidak secara eksplisit ada di masa Nabi, seperti penyusunan mushaf, ilmu tajwid, atau perayaan tahun baru hijriah. Sebagian inovasi diterima karena membawa maslahat, sementara sebagian lain ditolak karena dianggap berpotensi menyimpang. Dengan perspektif ini, perdebatan tentang maulid sesungguhnya bagian dari dinamika ijtihad yang sehat dalam Islam.

Relevansi Kontemporer

Di era modern, peringatan maulid memiliki peluang strategis untuk menjawab tantangan umat. Pertama, maulid bisa menjadi ruang counter narrative terhadap radikalisme dengan menonjolkan aspek kasih sayang, rahmat, dan akhlak Nabi. Kedua, maulid dapat diarahkan untuk memperkuat kepedulian sosial melalui kegiatan kemanusiaan, pengentasan kemiskinan, atau kampanye moralitas publik. Dengan demikian, Maulid tidak berhenti pada nostalgia sejarah, tetapi menjadi instrumen transformasi sosial.

Titik Temu; Isi Lebih Penting dari Bentuk

Sesungguhnya perbedaan pandangan ini banyak bertumpu pada bagaimana ulama memahami konsep bid‘ah. Sebagian, terutama dalam tradisi Syafi‘iyah, membagi bid‘ah menjadi baik dan buruk. Sebagian lain menilai semua bid‘ah tercela.

Namun titik temu tetap ada. Jika perayaan maulid diisi dengan amalan baik seperti salawat, zikir, belajar sejarah Nabi, atau kegiatan sosial, maka ia membawa manfaat. Tetapi jika justru bercampur dengan kemungkaran— seperti pemborosan, campur-baur yang tidak sesuai syariat, atau hiburan berlebihan— maka ia menjadi tercela.

Penegasan Teologis

Cinta kepada Nabi bukan sekadar ekspresi emosional, tetapi manifestasi dari ketaatan kepada Allah. Perayaan maulid, bila dimaknai dengan benar, dapat memperdalam pemahaman umat terhadap sirah nabawiyah dan menumbuhkan kesadaran meneladani Rasulullah dalam kehidupan sehari-hari. Inilah yang menegaskan bahwa hakikat maulid tidak terletak pada ritual luarnya, melainkan pada spirit keteladanan yang dihidupkan kembali.

Penutup

Pada akhirnya, maulid Nabi bukan sekadar soal boleh atau tidak, melainkan bagaimana umat Islam memaknainya. Dari sisi teologis, maulid bisa dilihat sebagai ungkapan cinta, syukur, dan penghormatan kepada Nabi Muhammad. Dari sisi fiqih, ada ulama yang menerima sebagai bid‘ah hasanah, ada pula yang menolak karena tidak memiliki dasar dari Nabi dan para sahabat. Dari sisi sosial-budaya, Maulid terbukti menjadi ruang akulturasi dan sarana dakwah yang efektif.

Sikap yang bijak adalah menghormati perbedaan ijtihad tersebut, sekaligus memastikan bahwa jika peringatan maulid dilakukan, isinya benar-benar membawa kebaikan, mendidik umat, dan tetap berada dalam koridor syariat. Dengan begitu, peringatan maulid tidak sekadar menjadi ritual, melainkan momentum memperkuat kecintaan kepada Rasulullah serta meneladani akhlaknya.

 

Akhmad Asyari Lc MA Hum
Dewan Syariat Forum Komunikasi Masjid dan Mushala LPR