Diskusi Publik Bahas Dampak PP 25/2024 terhadap Kalimantan Timur
Penulis: Giovanni Gilbert Anras
Jumat, 21 Juni 2024 | 843 views
Samarinda, Presisi.co – Sebuah diskusi publik bertajuk 'Kaltim Disiksa Tambang: Daya Rusak PP 25 Tahun 2024 Bagi Ruang Hidup di Kalimantan Timur' diadakan di D’Klasik Cafe, Jalan Perjuangan 3, Sempaja Selatan, Jumat, 21 Juni 2024.
Acara ini mengulas dampak dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 yang mengubah PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Diskusi ini menghadirkan narasumber dari berbagai organisasi kemahasiswaan dan lembaga swadaya masyarakat, termasuk HMI Samarinda, Jatam Kaltim, PMKRI Samarinda, PMII Samarinda, dan GMKI Samarinda.
Pembahasan dimulai dengan penjelasan bahwa pada 30 Mei lalu, Presiden RI menandatangani PP 25/2024 yang dianggap menambah deretan regulasi yang merugikan rakyat Indonesia.
Kalimantan Timur, yang 5,2 juta hektarnya telah menjadi kawasan pertambangan batu bara, menghadapi kerusakan lingkungan, pencemaran, dan kematian di lubang tambang. Forum ini mempertanyakan apakah regulasi baru ini akan memperparah situasi tersebut.
Muhammad Ramdan dari PMII Samarinda membuka diskusi dengan mengkritik pemberian konsesi lahan kepada ormas, yang menurutnya bukan keputusan tepat. "Pemerintah sebaiknya memberikan fasilitas kepada ormas untuk menjaga ekologi," tegasnya.
Yonatan Devi Rian Tori dari GMKI Samarinda menambahkan, pemberian konsesi lahan pertambangan menimbulkan problematika karena bertentangan dengan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
“Pasal 75 ayat 3 menyebutkan badan usaha milik daerah mendapat prioritas IUPK, sementara badan usaha swasta mendapatkannya melalui lelang WIUPK. Peraturan ini harus dipertimbangkan sebelum memberikan IUP kepada ormas keagamaan,” ujar Yonatan pada Jumat, 21 Juni 2024.
Yonatan menjelaskan GMKI pusat belum memberikan arahan untuk menolak sepenuhnya kebijakan tersebut. Namun, ormas keagamaan yang menyetujui izin pertambangan harus memperhatikan kapasitas pengelolaan agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat.
Syahril Saili dari HMI Samarinda menilai kebijakan yang disampaikan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, absurd.
"Pernyataan ini lucu karena sekelas menteri mengatakan ini adalah balas budi negara kepada ormas keagamaan yang berjuang saat masa penjajahan," kritiknya. Menurut Syahril, lebih baik pengakuan diberikan kepada veteran yang dulunya berjuang untuk bangsa namun sekarang tidak diakui negara.
Mustari Sihombing dari JATAM Kaltim mengungkapkan keprihatinannya terhadap masyarakat Kaltim yang tinggal berdampingan dengan pertambangan.
“Eksploitasi tambang oleh perusahaan telah merusak Kaltim, dan sikap negara tidak berpihak kepada masyarakat,” tutur Mustari.
Diskusi publik tersebut menyimpulkan sikap menolak kebijakan PP 25/2024 yang dinilai lebih banyak membawa dampak negatif daripada positif. Peserta diskusi juga mengisi pernyataan sikap yang akan ditindaklanjuti. (*)